A. Menurut paradigma filsafat barat
Semua orang mengakui memiliki pengetauan. Persoalannya
dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat? Dari
situ timbul pertanyan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau
darimana sumber pengetahuan kita? Pengetahua yang ada pada kita diperoleh
dengan menggunakan berbagai alat yang menggunakan sumber pengetahuan tersebut.
Dalam hal ini ada
beberapa
pendapat tentang sumber pengetahuan antaralain:
a. Idealisme
Pertama, idealisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa hakikat fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan
jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Idealisme atau nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya
peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Plato (427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin
idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat
memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah
(Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai
kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran
yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak
berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu
alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles
itu sebagai "alam ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir
telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia
dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan.
Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami
segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan
yang tampak dalam wujud nyata alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.
b. Empirisme
Paham
selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti
penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian
pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh
dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan
yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman
itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin
Abdullah;1996).
Dalam
paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang
paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa
rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan
dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di
sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk
memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat
dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat
bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas
putih). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan,
lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia memiliki pengetahuan.
Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya
(Louis O. Katsof;1995). Empirisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa
pengetahuan manusia hanya didapatkan melalui pengamatan konkret, bukan
penalaran rasional yang abstrak, apalagi pengalaman kewahyuan dan institusi
yang sulit memperoleh pembenaran factual.
David Hume,
salah satu tokoh empirisme mengatakanbahwa manusia tidak membawa pengetahuan
bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan
dua hal, yaitu kesan-kesan (empressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide
(ideas). Yang dimaksud kean-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari
pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah
gambaran tentang pengamatan yang samara-samar yang dihasilka dengan merenungkan
kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari
pengalaman.(Amsal Baktiar; 2002)
Berdasarkan
teori ini, akal hanya mengelola konsep indrawi, hal itu dilakukannya dengan menyusun
konsep tersebut atau membagi-baginya.(Muhammad baqir as-Shadar;1995). Jadi
dalam empirisme, sumber utamauntuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris
yang diperoleh dari panca indra. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu
pun sebatas ide yang kabur.
Namun aliran
ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1.
Indra terbatas, benda yang jauh
kelihatan kecil, apakah ia benar-benar keci? Ternyata tidak. Keterbatasan
indralah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahua
yang salah.
2.
Indra menipu, pada yang sakit
malaria gula rasanya pahit, udara akan tersa dingin. Ini akan menimbulkan
pengetahuan empiris yang salah juga.
3.
Objek yang menipu, contohnya
fammorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap
oleh indra, ia membohongi indra.
4.
Berasal dari indra dan objek
sekaligus. Dalam hal ini indra mata tidak mampu melihat seekor kerbau secara
keseluruhan, dan kernau itu juga tidak dapt memperlihatkan badanya secara
keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indra
manusia.
c. Rasionalisme
Paradigma selanjutnya adalah
Rasionalisme, sebuah aliran yang menganggap bahwa kebenaran dapat diperoleh
melalui pertimbangan akal. Dalam beberapa hal, akal bahkan dianggap dapat
menemukan dan memaklumkan kebenaran sekalipun belum didukung oleh fakta
empiris. Faham rasionalisme dipandu oleh tokoh seperti Rene Deskrates
(1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1716).
Menurut kelompok ini, dalam setiap benda sebenarnya terdapat ide – ide
terpendam dan proposisi - proposisi umum yang disebut proposi keniscayaan yang
dapat dibuktikan sebagai kebenaran yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran
dalam kesempurnaan atau keberadaan verifikasi empiris.
Aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Menurut aliran ini kekeliruan pada
aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapt dikoreksi,
seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra
dalammemperoleh pengetahuan.
Pengalaman indra diperlukan untuk
merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja,
etapi sampainya mausia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra
menurut rasionalisme merupakan bahan yang belu jelas, bahkan ini memungkinkan
dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan
tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahua yang benar. Jadi fungsi panca
indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya
menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal
menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut
mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang dimaksud
prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti
hukum kuasalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya bagi empirisme
hukum tersebut tidak diakui.(Harun nasution;1995). Akal, selain bekerja karena
ada bahan indra, juga akal dapat menghasilkan pegetahuan yang tidak berdasarkan
bahan indrawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahan tentang
objek yang betul-betul abstrak. Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan,
seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang
menurut seseorag dalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain
tidak. Jadi masalah yang utama yang dihadpi kaum rasionalisme adalah evaluasi
dari kebenaran premis-premis inisemuanya bersumber pada penalaran induktif,
karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang
bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evalusi yang semacam ini tidak dapat
dilakukan.(Jujun S. Suriasumantri;1998).
d. Positivisme
Adanya problem pada empirisme dan
rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh
August Comte dan Immanuel Kant. August Comte berpendapat bahwa indera itu amat
penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat
bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Positivisme adalah aliran filsafat
yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau
kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.(Drs.
Drs. H. Ahmad Syadali, M.A; 2004 :133). Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat
eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas
seperti panas diukur dengan drajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain
sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau metahari panas, kita
juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. kita
memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang
terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan
pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera
dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih
mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus
menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari
penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan
sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
Pada dasarnya aliran ini (yang
diuraikan oleh August Comte dan Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang
berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan emperisme dan rasionalisme yang
bekerjasama dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
B. Menurut Saintis Islam
Alam ini merupakan sumber
pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap manusia. Alam yang memiliki hukum
yang pasti dan konstan akan membentuk pengetahuan manusia. Karena hukum alam
itulah manusia secara bertahap dapat mengendalikan alam dan mengadakan
pengembangan melalui eksperimen dan riset secara berulang. Berbagai persoalan
yang berkaitan dengan struktur, kondisi dan kualitas alam, secara bertahap
dapat dikuasai dan diatasi manusia.
Hukum alam dan Al-Qur’an bersumber
dari sumber yang sama, yakni Allah SWT. Oleh karena itu, alam mempunyai kaitan
erat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara kaitan tersebut, Al-Qur’an
memberikan informasi tentang keadaan alam pada masa yang akan datang, yang
belum bisa diramalkan oleh ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga memberikan
informasi peristiwa masa lampau yang hanya diketahui oleh kalangan yang sangat
terbatas. Terkadang Al-Qur’an mempertegas penemuan para ahli dan terkadang
memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan secara akurat, Al-Qur-an juga
memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk melakukan kajian atau pembahasan
suatu persoalan dan memerintahkan agar mendiamkannya (tawakuf) serta menyerahkan
segala urusanya kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
kajian dan penelitian terhadap alam ini pada akhirnya akan menunjukkan
kebesaran akan menunjukkan kebesaran Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT,
sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali’Imran ayat 190 dan 191:
Artinya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal ( 190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ,Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Imran ayat 191)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal ( 190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ,Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Imran ayat 191)
Di kalangan ilmuan muslim, banyak
sekali penemuan ilmuan yang orisinal (sebagai hasil eksperimen, observasi, atau
penelitian) yang terus dikembangkan dan menjadi milik dunia ilmu pengetahuan
modern, termasuk yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuan barat. Para ilmuan
muslim, terutama yang muncul pada masa keemasan islam (abad ke 7-13) banyak
memberi kontribusi pada perkembangan sains modern, seperti bidang kimia,
optika, matematika, kedokteran, fisika, astronomi, geografi, sejarah dan
ilmu-ilmu lainnya.
Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal), adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian muncul istilah “trasendentalisasi ilmu”, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam. Kalaau dibarat ilmu pengetahuan beranjak dari “premis kesangsian”, maka dikalangan agama samawi, termasuk islam, ilmu-ilmu itu bersumber dari “premis keimanan”, suatu keimanan yang memberikan keyakinan, bahwa kebenaran yang absolute itu hanya ada pada wahyu, termasuk kebenaran ijtihadi dalam upaya menafsirkan wahyu tersebut. Al-qur’an dan As-Sunah yang sahih mempunyai tingkat kebenaran absolute, tetapi ilmu-ilmu ijtihadi seperti ilmu kalam atau ilmu fiqih dan lain-lain, tingkat kebenarannya adalah relative. (Muhammada Talhah Hasan, 2006: 39)
Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal), adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian muncul istilah “trasendentalisasi ilmu”, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam. Kalaau dibarat ilmu pengetahuan beranjak dari “premis kesangsian”, maka dikalangan agama samawi, termasuk islam, ilmu-ilmu itu bersumber dari “premis keimanan”, suatu keimanan yang memberikan keyakinan, bahwa kebenaran yang absolute itu hanya ada pada wahyu, termasuk kebenaran ijtihadi dalam upaya menafsirkan wahyu tersebut. Al-qur’an dan As-Sunah yang sahih mempunyai tingkat kebenaran absolute, tetapi ilmu-ilmu ijtihadi seperti ilmu kalam atau ilmu fiqih dan lain-lain, tingkat kebenarannya adalah relative. (Muhammada Talhah Hasan, 2006: 39)
Allahlah sumber segala ilmu
pengetahuan, sedangkan ilmu yang dikuasai manusia selama ini sangat terbatas
dan sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan ilmu Allah. Tuhan telah
memberikan ilmu-Nya kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya seperti malaikat,
dengan beberapa cara seperti dengan ilham, instink, indra, nalar (reason),
pengalaman dan lain sebagainya. Atau dengan istilah lain, melalui penelitian
dan survey, juga melalui penelitian laboratories, dan ada juga yang melalui
kontemplasi/perenungan yang tajam dan melalui informasi wahyu yang diterima
para Rasul Allah. Itu semua merupakan cara-cara yang digunakan oleh Allah untuk
memberi ilmu pengetahuan, informasi, kemampuan nalar dan kecakapan kepada
manusia, tetapi sumbernya tetaplah Allah.
Prof. DR. Cecep Sumarna mengatakan,
bahwa dikalangan filosof dan saintis muslim berkembang sebuah pemikiran bahwa
sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu. Bagi umat islam hal itu termanifestasi
dalam bentuk Al-Qr’an dan As-Sunah. Sumber Al-Qur’an ini bukan hanya
mendampingi sumber pengetahuan lain, misalnya sumber empiris yang
faktual/induktif dan rasional/deduktif. Al-Qur’an bahkan dapat dianggap
pemegang otoritas lahirnya ilmu. Dalam perspektif islam, alam menjadi sumber
empiris pengaruh modern, adalah wahyu Tuhan juga. Ia adalah symbol terendah
dari Tuhan Yang Maha Tinggi dan sekaligus Maha Qudus. (Prof. DR. Cecep Sumarna;
2008:111). Selain empiris dan rasional, sumber ilmu pengetahuan yang lain adalah
intuisi dan wahyu. Melalui intuisi manusia mendapati ilmu pengetahuan secara
langsung tidak melalui proses penalaran tertentu, sedangkan wahyu adalah
pengetahuan yang didapati melalui “pemberian” Tuhan secara langsung kepada
hamba-Nya yang terpilih yang disebut Rasul dan Nabi.
DR. Ahmad tafsir mengatakan, bahwa
menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datang dari Allah, sebagian diwahyukan
kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan
menggunakan indra, akal, dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai
kebenaran yang absolute, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari indra
kebenarannya tidak mutlak. (DR. Ahmad tafsir; 2008: 8)
Bagi orang islam sumber pengetahuan
adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang datang dari Allah. Sumber
pertama itu sekarang ini adalah Al-Qur’an atau hadits Rasul. Demikian
Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan
tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan
pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat
dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan
rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan tersebut tetap dilakukan secara
hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa baru diantara keduanya itu.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
"Tentang hal ini aku ragu-ragu,
karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan
mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya,
melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia
bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang
tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa
bintang lebih besar dari pada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan
contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum
inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat
disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).